Jumat, 23 Mei 2008

Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura(sumber: foto-foto.com)


Kapitan Pattimura (Saparua, 1783 - Ambon, 16 Desember 1817), Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura lahir di Desa Haria, Pulau Saparua pada tanggal 8 Juni 1783. Thomas Matulessy adalah seorang kesatria keturunan dari keluarga besar Matulessia (Matulessy) yang tidak lain masih bersaudara dengan raja Maluku(kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Raja, oleh karena pedagang Arab lebih dulu menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau Maluku dan mereka mengenal Maluku sebagai Jaziratul Mulk yang berarti Kepulauan Raja-Raja). Ia yang selama ini dikenal sebagai seorang Kristen, ternyata adalah seorang muslim. Karena seluruh keturunan Ambon yang bermarga Matulessy adalah muslim.

Sebab-sebab pecahnya perang melawan Belanda adalah karena para misionaris, yang didukung dan dilindungi oleh penjajah Belanda, menyebarkan agamanya kepada rakyat Maluku yang notabene sudah beragama yakni Islam. Karena tingkah laku para misionaris menjadi keterlaluan yakni dengan menggunakan kekuatan militer Belanda yang juga bertujuan memperbudak rakyat Maluku, maka Pattimura dan para pembesar di Maluku merasa harus bertindak.Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Thomas Matulessy dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia.

Kartini

Gambar Kartini bersama suaminya.


Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (Jepara, 21 April 1879 - Rembang, 17 September 1904), adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Daftar isi

[sembunyikan]

Pengantar

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.

Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Surat-surat

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.

Pemikiran

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."

Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Pada bab awal ini.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.

Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun ternyata, cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah, dalam surat, juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi-terutama ke Eropa memang diungkap dalam surat-surat. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Dan ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Catatan Pinggir

Mengenai Kartini ada satu hal menarik yang jarang dikemukakan pada publik. Dalam surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht,

Terjemahan surat itu sebagai berikut:

"Saja ada satoe Botjah-Boedha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa. Ketika saja masih anak-anak, saja telah dapat sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka poetoes asah. Waktoe itoe, seorang Tionghoa (seorang hoekoeman dengan siapa kita masih anak-anak soeka bersahabatan) tawarkan dirinja boeat menolong saja. Saja poenja orang toea menoeroet dan saja betoel-betoel djadi semboeh. Apa jang obat-obatan dari orang-orang terpeladjar tidak mampoe, djoestroe obat-tachajoel jang menolongnja. Ia menolong saja dengan tjoema-tjoema, saja disoeroe minoem aboe dari hioswa jang dibakar sebagi sembah-bakti pada satoe Tepekong Tionghoa. Lantaran minoem obat itoe saja djadi anaknja Orang Soetji itoe, Santikkong Welahan. Pada kira-kira satoe tahoen jang laloe saja mengoenjoengi Orang Soetji itoe. Ia ada hanja satoe Patoeng Emas jang ketjil dan siang malam dilipoeti asep hio. Bilamana ada berdjangkit wabah penjakit heibat, patoeng ketjil ini digotong-gotong kesana-sini dengan pake oepatjara boeat oesir pengaroeh djahat dari iblis-iblis." Memahami utuh pikiran Kartini terlihatlah jelas betapa ia orang yang kritis dan cerdas atas kondisi sosial dan sebagai pemeluk agama yang taat dan saleh ia menghargai pengobatan alternatif yang oleh kedokteran Belanda dan Barat saat itu dianggap terbelakang, tetapi ia sekaligus menyayangkan praktek perdukunan yang seringkali mengikuti pengobatan itu. Sebagai orang muda terpelajar yang berkeinginan melanjutkan studi kedokteran di Betawi (tapi ayahnya melarangnya) Kartini tentu mengerti bahwa penyakit bukan disebabkan oleh arwah jahat yang bisa diusir dengan asap. Namun demikian ia bijak menghargai upaya pengobatan demikian.

Buku

  • Habis Gelap Terbitlah Terang

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

  • Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.

Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.

Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

  • Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.

Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.

  • Panggil Aku Kartini Saja

Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.

  • Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.

Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi. Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

  • Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903

Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.

"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Kontroversi

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

Penghargaan Pemerintah Belanda

Kartini di Belanda dijunjung tinggi sebagai pejuang emansipasi di Hindia-Belanda dulu sampai sekarang. Pemda Den Haag di tahun 2007 ini spesial menyediakan trophy Kartini untuk perorangan/organisasi di Den Haag yang berjuang dalam bidang emansipasi ala Kartini dulu. Kartini-Trophy tahun 2007 ini diberikan kepada wanita Maroko bernama Rahma El Hamdaoui yang berjuang membela emansipasi di sebuah kampung bernama Schilderswijk di Den Haag.

Pangeran Diponegoro

Potret Pangeran Diponegoro (1835)


Pangeran Diponegoro (Yogyakarta, 11 November 1785 - Makassar, 8 Januari 1855) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Daftar isi

[sembunyikan]

Asal-usul Diponegoro

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat Perjuangan

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan pengasingan

Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC
Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC
  • 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
  • 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
  • 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien (Lampadang, 18486 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakut encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Daftar isi

[sembunyikan]

Kehidupan awal

Latar belakang keluarga

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau[4][2]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Masa kecil

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[4][2], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh

Belanda menyerang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?.[2]

Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.

Van Heutsz sedang memerhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Van Heutsz sedang memerhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh

Pendudukan VI Mukim

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Kematian Ibrahim Lamnga

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]

Pernikahan dengan Teuku Umar

Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.

Rencana Teuku Umar

Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien(sumber: foto-foto.com)
Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien
(sumber: foto-foto.com)

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:

Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh [1]

Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1] T

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).

Reaksi Belanda

Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan dan menyerang Belanda ketika jendral Van Swieten diganti, dipermalukan dan dihina. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan pada pertama kalinya.[1] Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]

Pembantaian Jendral Van Der Heyden

Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.[1] Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses.[1] Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang.[1] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan amsih tetap ada pada populasi Aceh.[1]

Kematian Teuku Umar

Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh.[1] Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:

Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed"[1]

Bertempur bersama pasukan kecil

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.[3][2]

Ditangkap Belanda

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.[1] Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda.[5] Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).[6] Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya.[1]

Masa tua

Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, lalu ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

[sunting] Dibuang di Sumedang

Ia dibawa Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu).[6] Selama ia ditahan, ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu.[1] Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Ketika masyarakat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang, pada tahun 1960-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).

Kematian

Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[6] Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[6] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[6] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.[6]

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.[6]

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[6]

Apresiasi

Biografi dalam seni

Poster Film Tjoet Nja' Dhien
Poster Film Tjoet Nja' Dhien

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck Hurgronje dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar. Film ini memenangi Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).

Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.

Pengabadian

  • Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
  • Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
  • Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

Daftar pustaka

  • Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda.
  • Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbit: Grasindo.
  • Muhazir. 1984 .Pahlawan Repulusi Aceh

Pranala luar

Abdul Harris Nasution | Abdul Kadir | Abdul Muis | Abdul Rahman Saleh | Achmad Ri'fai | Adam Malik | Ageng Tirtayasa, Sultan | Agus Salim, H | Ahmad Dahlan, Kiai Haji | Ahmad Yani, Jenderal | Amir Hamzah, Tengku | Andi Abdullah Bau Massepe | Andi Djemma | Andi Mappanyukki | Andi Sultan Daeng Radja | Antasari, Pangeran | Arie Frederik Lasut | Arung Matoa, Sultan | Ayokrokusumo, Sultan Agung | Bagindo Azizchan | Basuki Rahmat, Jenderal | Cik Di Tiro, Teungku | Cilik Riwut | Cut Nyak Dhien | Cut Nyak Meutia | Dewi Sartika | Diponegoro, Pangeran | Djuanda Kartawidjaja | Douwes Dekker, Setiabudi | Fakhruddin, H | Fatmawati | Ferdinand Lumbantobing | Fisabilillah, Raja Haji | Frans Kaisiepo | Gatot Mangkoepradja | Gatot Subroto, Jenderal | Halim Perdana Kusuma | Hamengku Buwono I, Sri Sultan | Hamengku Buwono IX, Sri Sultan | Harun | Haryono M.T, Letnan Jenderal | Hasan Basry, Brigadir Jenderal | Hasanuddin, Sultan | Hasyim Asyari | Hazairin | Ignatius Slamet Rijadi | Ilyas Yakoub | Imam Bonjol, Tuanku | Iskandar Muda, Sultan | Ismail Marzuki | Iswahyudi, Marsma | Iwa Kusuma Sumantri, Prof.Dr | Izaak Huru Doko | Jatikusumo, G.P.H | Jelantik, I Gusti Ketut | Karel Satsuit Tubun, AIP | Kartini, R.A | Katamso Darmokusumo, Brigadir Jenderal | Ki Hajar Dewantara | Kiras Bangun (Garamata) | Kusumah Atmaja, Dr.SH | La Madukelleng | Mahmud Badaruddin II, Sultan | Mangkunegoro, K.G.P.A.A | Maria Walanda Maramis | Martadinata R.E, Laksamana Laut | Martha Christina Tiahahu | Marthen Indey | Mas Mansur, Kiai Haji | Maskoen Soemadiredja | Mohammad Hatta, Drs | Mohammad Husni Thamrin | Mohamad Roem | Mohammad Yamin, Prof, SH | Muhammad Isa Anshary | Muwardi, dr | Nani Wartabone H | Ngurah Rai, I Gusti, Kolonel | Noer Alie | Nuku Muhammad Amiruddin | Nyai Ahmad Dahlan | Nyak Arif, Teuku | Nyi Ageng Serang | Opu Daeng Risadju | Oto Iskandardinata | Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng | Pakubuwono VI, Sri Susuhunan | Panjaitan D.I, Mayor Jenderal | Parada Harahap | Pattimura, Kapitan | Pierre Tandean, Kapten | Pong Tiku | Radin Inten II | Raja Ali Haji | Rasuna Said, HJ Rangkayo | Robert Wolter Monginsidi | Saharjo, Dr. SH | Sam Ratulangi, G.S.S.J, Dr | Samanhudi, Kiai Haji | Ignasius Slamet Riyadi | Silas Papare | Sisingamangaraja XII | Siswondo Parman, Letnan Jenderal | Soekarno | Sudirman, Jenderal | Sugiono, Kolonel | Sugijopranoto, S.J, Msgr | Suharso, Prof. Dr | Suhartinah Suharto | Sukarjo Wiryopranoto | Supeno | Supomo, Prof. Mr. Dr | Suprapto R, Letnan Jenderal | Suprijadi | Suroso R.P | Suryo | Suryopranoto, R.M | Sutan Syahrir | Sutomo, dr | Sutoyo Siswomiharjo, Mayor Jenderal | Syarif Kasim II, Sultan | Syech Yusuf Tajul Khalwati | Tambusai, Tuanku | Tengku Rizal Nurdin | Teuku Muhammad Hasan | Teuku Umar | Thaha Sjaifuddin, Sultan | Tirto Adhi Soerjo, R.M | Tjipto Mangunkusumo, dr. | Tjokroaminoto, Haji Oemar Said | Untung Suropati | Urip Sumohardjo, Letnan Jenderal | Usman | Wage Rudolf Supratman | Wahid Hasyim | Wahidin Sudirohusodo | Wilhelmus Zakaria Johannes